2.1 Clostridium tetani
2.1.1 Karakteristik Umum
Clostridium tetani adalah
bakteri berbentuk batang lurus,langsing,berukuran panjang 2-5 mikron dan lebar
0,4-0,5 mikron. Bakteri ini membentuk eksotoksin yang disebut tetanospasmin.
Kuman ini terdapat di tanah terutama tanah yang tercemar tinja manusia dan
binatang. Clostridium tetani termasuk bakteri gram positif anaerobic
berspora, mengeluarkan eksotoksin. Costridium tetani menghasilkan 2
eksotosin yaitu tetanospamin dan tetanolisin. Tetanospaminlah yang dapat
menyebabkan penyakit tetanus. Perkiraan dosis mematikan minimal dari kadar
toksin (tenospamin) adalah 2,5 nanogram per kilogram berat badan atau 175
nanogram untuk 70 kilogram (154lb) manusia.
Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak memecah protein
dan tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga tidak menghasilkan gas H2S.
Menghasilkan gelatinase, dan indol positif.
Spora dari Clostridium tetani resisten
terhadap panas dan juga biasanya terhadap antiseptis. Sporanya juga dapat
bertahan pada autoclave pada suhu 249.8°F (121°C) selama 10–15 menit. Juga
resisten terhadap phenol dan agen kimia yang lainnya.
2.1.2 Cara Penularan
Tetanus terutama ditemukan di daerah tropis dan merupakan penyakit
infeksi yang penting baik dalam prevalensinya maupun angka kematiannya yang
masih tinggi . Tetanus merupakan infeksi berbahaya yang biasa mendatangkan
kematian. Bakteri ini ditemukan di tanah dan feses manusia dan binatang.
Infeksi ini muncul (masa inkubasi) 3 sampai 14 hari. Di dalam luka yang dalam
dan sempit sehingga terjadi suasana anaerob. Clostridium tetani berkembang biak
memproduksi tetanospasmin suatu neurotoksin yang kuat. Toksin ini akan mencapai
system syaraf pusat melalui syaraf motorik menuju ke bagian anterior spinal
cord.
Jenis-jenis luka yang sering menjadi tempat masuknya kuman
Clostridium tetani sehingga harus mendapatkan perawatan khusus adalah:
a) Luka-luka tembus pada
kulit atau yang menimbulkan kerusakan luas
b) Luka baker tingkat 2 dan 3
c) Fistula kulit atau pada sinus-sinusnya
d) Luka-luka di bawah kuku
e) Ulkus kulit yang iskemik
f) Luka bekas suntikan narkoba
g) Bekas irisan umbilicus pada bayi
h) Endometritis sesudah abortus septic
i) Abses gigi
j) Mastoiditis kronis
k) Ruptur apendiks
l) Abses dan luka yang mengandung bakteri dari tinja
2.1.3
Gejala
Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3-12 hari, namun dapat
singkat 1-2 hari dan kadang lebih satu bulan; makin pendek masa inkubasi makin
buruk prognosis. Terdapat hubungan antara jarak tempat masuk kuman Clostridium
tetani dengan susunan saraf pusat, dengan interval antara terjadinya luka
dengan permulaan penyakit; makin jauh tempat invasi, masa inkubasi makin
panjang.
Penyakit ini khas dengan adanya tonik
pada ototv seran lintang, biasanya dimulai dari daerah sekitar perlukaan,
kemudian otot-otot pengunyahan, sehingga akan mengalami kesukaran dalam
mengunyah mulut.
Secara bertahap kejang tersebut akan
melibatkan semua otot seran lintang sehingga akan terjadi kejang tonik. Adanya
ransang dari luar dapat memacu timbulnya kekejangan. Kesadaran penderita tetap
baik dan penyakit terus berlanjut. Kematian biasanya terjadi akibat kegagalan
fungsi pernafasan, yang umumnya 50%.
Secara klinis tetanus dibedakan menjadi :
1. TETANUS
LOKAL
Ditandai dengan rasa nyeri dan spasmus
otot di bagian proksimal luka; gejala ini dapat terjadi selama beberapa minggu
dan menghilang tanpa gejala sisa. Bentuk ini dapat berkembang menjadi bentuk
umum; kasus fatal kira-kira 1%.
2.TETANUS
UMUM
Merupakan bentuk tetanus yang paling
banyak dijumpai, dapat timbul mendadak, trismus merupakan gejala awal yang
paling sering dijumpai. Spasmus otot maseter dapat terjadi bersamaan dengan kekakuan otot leher
dan kesukaran menelan, biasanya disertai kegelisahan dan iritabilitas. Trismus
yang me-netap menyebabkan ekspresi wajah yang karakteristik berupa risus
sardonicus. Kontraksi otot meluas, pada otot-otot perut menyebabkan perut papan
dan kontraksi otot punggung yang menetap menyebabkan opistotonus; dapat timbul
kejang tetani bermacam grup otot, menimbulkan aduksi lengan dan ekstensi
ekstremitas bawah. Selama periode ini penderita berada dalarn kesadaran penuh
3. TETANUS
SEFALIK
Jenis ini jarang dijumpai; masa inkubasi
1-2 hari, biasanya setelah luka di kepala, wajah atau otitis media; banyak
kasus berkembang menjadi tipe umum.Tetanus tipe ini mempunyai prognosis buruk
2.1.4 Diagnosis
Diagnosis tetanus ditegakan berdasarkan
gejala-gejala klinik yang khas. Secara bakteriologi biasanya tidak diharuskan
oleh karena sukar sekali mengisolasi Clostridium tetani dari luka penderita ,
yang kerap kali sangat kecil dan sulit dikenal kembali oleh penderita
sekalipun.
Diagnosis tetanus dapat diketahui dari
pemeriksaan fisik pasien sewaktu istirahat, berupa :
1.Gejala klinik
- Kejang tetanic, trismus, dysphagia, risus sardonicus ( sardonic
smile ).
2. Adanya luka yang mendahuluinya. Luka adakalanya sudah
dilupakan.
3. Kultur: C. tetani (+).
4. Lab : SGOT, CPK meninggi serta dijumpai myoglobinuria.
2.1.5 Obat
1. Antibiotika :
Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta
unit / hari selama 10 hari, IM. Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan
Peniciline dosis 50.000 Unit / KgBB/ 12 jam secafa IM diberikan selama 7-10
hari. Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan preparat
lain seperti tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak
melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia
Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis 200.000 unit /kgBB/ 24 jam,
dibagi 6 dosis selama 10 hari.
Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari
C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya
komplikasi pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan.
2. Antitoksin
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus
Immunoglobulin ( TIG) dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja,
secara IM tidak boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung
"anti complementary aggregates of globulin ", yang mana ini dapat
mencetuskan reaksi allergi yang serius. Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk
menggunakan tetanus antitoksin, yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U,
dengan cara pemberiannya adalah : 20.000 U dari antitoksin dimasukkan kedalam
200 cc cairan NaC1 fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus
sudah diselesaikan dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000
U) diberikan secara IM pada daerah pada sebelah luar.
3.Tetanus Toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang
pertama,dilakukan bersamaan dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang
berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan secara I.M.
Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai
4. Antikonvulsan
Penyebab
utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang klonik yang hebat, muscular dan laryngeal spasm
beserta komplikaisnya. Dengan penggunaan obat – obatan sedasi/muscle relaxans,
diharapkan kejang dapat diatasi. Contohnya :
- Diazepam 0,5 – 1,0 mg/kg Berat badan / 4 jam (IM)
- Meprobamat 300 – 400 mg/ 4 jam (IM)
- Klorpromasin 25 – 75 mg/ 4 jam (IM)
- Fenobarbital 50 – 100 mg/ 4 jam (IM)
2.1.6 Pencegahan
Pencegahan merupakan tindakan paling penting, yang dapat dilakukan
dengan cara :
1. imunisasi aktif dengan toksoid
2. perawatan luka menurut cara yang tepat
3. penggunaan antitoksi profilaksis
Namun
sampai pada saat ini pemberian imunisasi dengan tetanus toksoid merupakan
satu-satunya cara dalam pencegahan terjadinya tetanus. Pencegahan
denganpemberian imunisasi telah dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan,
dengan cara pemberian imunisasi aktif (DPT atau DT).
2.1.7 Klasifikasi Ilmiah
Kingdom:
|
Bacteria
|
Division:
|
Firmicutes
|
Class:
|
Clostridia
|
Order:
|
Clostridiales
|
Family:
|
Clostridiaceae
|
Genus:
|
Clostridium
|
Species:
|
Clostridium
tetani
|
2.2
Clostrudium Botulinum
Clostridium botulinum
A.
Klasifikasi ilmiah
Domain: Bacteria
Divisi: Firmicutes
Kelas: Clostridia
Ordo: Clostridiales
Famili: Clostridiaceae
Genus: Clostridium
Spesies: C. botulinum
Divisi: Firmicutes
Kelas: Clostridia
Ordo: Clostridiales
Famili: Clostridiaceae
Genus: Clostridium
Spesies: C. botulinum
2.2.1
Karakteristik
Clostridium botulinum adalah bakteri yang memproduksi racun
botulin, penyebab
terjadinya botulisme. Bakteri ini masuk
kedalam genus Clostridium. Bakteri
ini pertama kali ditemukan pada tahun 1896 oleh Emile van Ermengem dan
umumnya dapat ditemukan di tanah. C. botulinum termasuk bakteri gram
positif, anaerob obligat (tidak
bisa hidup bila terdapat oksigen),
motil (dapat bergerak), berbentuk batang dan relatif besar serta menghasilkan spora.
2.2.2 Sumber
pencemaran
Bakteri Clostridium botulinum ditemukan dimana-mana, dalam tanah, sedimen
didasar laut, usus dan kotoran binatang. Selain itu bakteri Clostridium
botulinum umum terdapat juga pada makanan kaleng dengan pH lebih dari 4,6.
Kerusakan makanan kaleng dipengaruhi oleh jenis makanan dan jenis mikroba yang
terdapat didalamnya. Pada dasarnya makanan kaleng dibedakan atas tiga kelompok
berdasarkan keasaman, yaitu:
1. Makanan
kaleng berasam rendah (pH>4,6), misalnya produk-produk daging dan ikan,
beberapa sayuran (jagung, buncis), dan masakan yang terdiri dari campuran
daging dan sayuran (lodeh, gudeg, opor, dan lain-lain).
2. Makanan
kaleng asam (pH 3,7-4,6), misalnya produk-produk tomat, pear, dan produk-produk
lain.
3. Makanan
kaleng berasam tinggi (pH<3,7), misalnya buah-buahan dan sayuran kaleng
seperti jeruk, pikel, sauerkraut, dan lain-lain (Siagian 2002)
Kerusakan bahan pangan termasuk makanan dalam kaleng dapat dideteksi
dengan beberapa cara, yaitu:
1. Uji
organoleptik dengan melihat tanda-tanda kerusakan seperti perubahan tekstur
atau kekenyalan, kekentalan, warna bau, pembentukkan lendir, dan lain-lain
2. Uji
fisik untuk melihat perubahan-perubahan fisik yang terjadi karena kerusakan
oleh mikroba maupun oleh reaksi kimia, misalnya perubahan pH, kekentalan,
tekstur, indeks refraktif, dan lain-lain.
3. Uji
kimia untuk menganalisa senyawa-senyawa kimia sebagai hasil pemecahan komponen
pangan oleh mikroba atau hasil dari reaksi kimia.
4. Uji
mikrobiologis, yang dapat dilakukan dengan metode hitungan cawan, MPN, dan
mikroskopis.
Tanda-tanda kerusakan pada makanan kaleng yang disebabkan oleh
Clostridium botulinum diantaranya adalah produk mengalami fermentasi, bau asam,
bau keju atau bau butirat, pH sedikit di atas normal dengan tekstur rusak.
Penampakan pada keleng memperlihatkan bahwa kaleng menggembung. Jika dibiarkan
terus menerus mungkin bisa meledak (Siagian 2002).
2.2.3
Symptomps
Terdapat tujuh strain botulism, masing masing memproduksi protein yang
berpotensi sebagai neurotoxin. Tipe A, B, E dan F menyebabkan botulism pada manusia.
Bakteri botulinum akan berbahaya bila aktif secara metabolisme dan memproduksi
racun botulinus. Waktu inkubasi Clostridium botulinum adalah 12 sampai 36 jam.
Gejala klinis yang disebabkan intoksikasi diantaranya adalah gangguan
pencernaan akut yang diikuti oleh pusing-pusing dan muntah-muntah, bisa juga
diare, lelah, pening dan sakit kepala. Gejala lanjut konstipasi, kesulitan
menelan dan berbicara, lidah bisa membengkak dan tertutup, beberapa otot
lumpuh, dan kelumpuhan bisa menyebar kehati dan saluran pernafasan. Kematian
bisa terjadi dalam waktu tiga sampai enam hari (Siagian 2002). Menurut Bayrak
AO and Tilky HE (2006), gejala klinis akan muncul 2- 36 jam setelah
mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi Clostridium botulinum.
2.2.4
Pencegahan
Beberapa pencegahan yang bisa dilakukan oleh diantaranya adalah selalu
memperhatikan batas kadaluarsa makanan kaleng serta selalu memperhatikan
tekstur kaleng. Apabila batas kadaluarsa habis atau tekstur kaleng mengalami
penggembungan jangan sekali-kali mencoba untuk membelinya. Uji bau dapat
dilakukan dengan cara mencium bau makanan tersebut, jika baunya sudah menglami
perubahan lebih baik tidak mengkonsumsi makanan kaleng tersebut.
Dewasa ini masyarakat lebih dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan atau
bahan pangan segar daripada makanan atau bahan pangan yang sudah diawetkan. Hal
ini memberi kesempatan mikroorganisme untuk mengkontaminasi gangguan saluran
pencernaan jika bahan pangan segar tersebut tidak ditangani dengan baik.
Apabila keracunan telah terjadi, beberapa bentuk pengobatan yang bisa
dilakukan adalah dengan pemberian antitoksin, terapi supportif dengan cara
injeksi nutrisi, serta menghilangkan toksin dengan merangsang muntah dan atau
peningkatan peristaltik usu untuk memudahkan buang air besar (Anonimus 2006).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar